anda tidak bisa melakukan banyak hal, tapi anda dapat menCINTAI banyak hal

Badai Matahari

Menurut sebuah lembaga pendidikan di Montana, AS, Solar Storm adalah gejala terlemparnya proton dan elektron matahari, dan memiliki kecepatan yang setara dengan kecepatan cahaya. Kecepatan itu dihasilkan oleh sinar X yang melepaskan radiasi ke luar angkasa. Selain itu, matahari juga melepaskan jutaan ton kabut plasma yang memiliki medan magnet sendiri. Dengan kecepatan sekitar 1 juta mph atau sekitar 1.852 kmh, maka CME (Coronal Mass Ejection) tadi bisa sampai ke bumi hanya dalam waktu beberapa hari. CME bisa menghantam medan magnet bumi layaknya sebuah palu godam, dan memiliki radius 1.852 kilometer.

Sedangkan menurut Wikipedia, gelombang magnetik tadi disebabkan oleh gelombang kejut matahari (Solar Wind shock wave) dan biasanya menyerang medan magnet bumi sekitar 24 hingga 36 jam setelah terjadi gelombang. Itu merupakan kecepatan yang luar biasa, karena jarak antara matahari dan bumi kurang lebih 150 juta km. Akan tetapi hal ini terjadi hanya jika gelombang tersebut tepat mengarah ke bumi.

Tekanan gelombang kejut pada magnetosfir bumi bisa meningkat maupun menurun tergantung pada aktifitas matahari, dan bisa mengacaukan ionosfer. Gelombang ini biasanya berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam, tapi bisa juga berlangsung selama berhari-hari.


Tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ada perubahan cuaca di luar angkasa adalah munculnya aurora di wilayah kutub utara. Hal ini diakibatkan oleh pergesekan proton dan elektron yang menabrak bumi, mengalir cepat pada lintasan medan magnet yang tipis dan bertemu dengan wilayah kutub bumi.


Solar Storm bisa mengakibatkan komunikasi antara bumi dengan satelit menjadi terganggu. Hal ini disebabkan karena gelombang magnetik yang menghantam bumi menghalangi sinyal-sinyal komunikasi. Jika sudah demikian, maka telepon, handphone, maupun alat komunikasi pada kapal, pesawat, hingga GPS (Global Positioning System) tidak bisa berfungsi dengan baik. Selain itu, para astronot yang berada di luar angkasa pada saat itu bisa terpanggang habis dalam hitungan detik jika tidak segera menemukan tempat berlindung yang benar-benar aman dari serangan badai.

Pembangkit listrik juga bisa mengalami kerusakan jika terus dinyalakan pada saat badai berlangsung. Hal ini disebabkan oleh medan magnet bumi yang tidak stabil pada saat badai berlangsung. Dan kalau sudah rusak, maka butuh waktu sekitar 2 tahun untuk membangunnya kembali. Hal ini memaksa masyarakat untuk kembali hidup tanpa listrik hingga pembangkit listrik baru selesai dibangun.

Solar Storm merupakan gejala alam yang wajar dan akan berlangsung secara terus menerus. Matahari masih akan terus menghasilkan puluhan Solar Storm hingga akhir hayatnya. Dan di akhir program tadi, Solar Storm berikutnya diperkirakan akan datang sekitar tahun 2011.

Technorati Profile

Letto: Menyuarakan Lagu Iblis…!!!

Ditulis Oleh: Sidyana R Rahman

Apa sih lagu religius itu?

Ada kesalahan fatal masyarakat kita, khususnya kalangan industri; baik pencipta lagu, penyanyi dan label; dalam hal memahami lagu religius. Mereka beranggapan bahwa lagu religius (ada yang menyebut istilah ‘lagu rohani’) adalah jenis aliran musik tertentu –berbau musik arab, melayu, padang pasir atau gospel—dengan lirik yang menyebut nama Tuhan, Malaikat, Hari Akhir atau untaian ayat-ayat Kitab Suci. Juga dalam momentum waktu peluncuran atau menyanyikannya pada saat-saat tertentu. Bagaikan musim; kemarau, hujan, ramadhan, lebaran, natal, imlek…

Padahal dalam pemahaman keagamaan –-religiusitas— agama apapun; dari sejak bangun tidur, buang air besar, cuci piring, mencari nafkah, sampai ke liang lahat adalah pekerjaan agama. Ironisnya, pelantun-pelantun shalawat-pun tidak memahami hal ini. Mereka mengikuti arus industri, setiap menjelang ramadhan bekerja keras merampungkan ‘album religi’ untuk pada saatnya nanti di-launch ke pendengar.

Kehadiran Letto, band yang bermarkas disebuah gang, Gang Barokah, Kadipiro, Bantul, Jogjakarta; mematahkan pemahaman itu. Mereka menolak keras membuat album religi dengan pemahaman yang sesat itu.

Dalam satu wawancara dengan sebuah májalah internasional terbitan Indonesia, Noe, vokalis Letto, ketika ditanya; mengapa Anda tidak menjadi penyanyi tembang religi, mengungkapkan:

“Karena kita tidak percaya dengan lagu religius. Kalau ada lagu religius berarti ada lagu tidak religius dong. Padahal semua hal menurut kita bisa diambil sisi religiusnya. Mau ngomong kambing sampai tai sapi, semuanya bisa religius juga. Bukan lagunya, tapi bagaimana kita mengambilnya.”



Letto, yang digawangi empat anak muda; Noe (vokalis, penulis syair, keybourd); Patub (guitar); Arian (bass) dan Deddy (drum); jauh-jauh hari bertekad membuat musik yang apik, dengan syair-syair yang jelas membawa pesan; meskipun vokal Noe yang biasa-biasa saja. Soal vokal ini secara jujur diakui sendiri oleh Noe bahwa ia menjadi vokalis adalah sebuah musibah. Ia menjadi korban. Teman-temannya tidak ada yang mau jadi vokalis, terpaksa menjadi terdakwa.

Dalam suatu wawancara radio, baru-baru ini, Noe membuka rahasia, yang selama ini ditutup rapat. Bahwa dalam album terbarunya “Lethologica” terdapat satu lagu untuk iblis. Hah…!!!

Apakah lagu yang diciptakan untuk iblis termasuk lagu religi? Benar-benar gila. Jelas, kalau mengikuti arus pemahaman ‘lagu religi’ yang selama ini kita kenal, lagu itu termasuk ‘tembang setan.’ Bukan lagu religi. Masa iblis dibikinkan lagu.

Lagu iblis ini berjudul: “Kepada Hati Itu.” Iblis mengungkapkan hatinya yang terdalam, ia bertugas mengganggu manusia, namun manusia ini terlalu kuat. Ia selalu berserah diri pada Tuhan.



Kepada Hati Itu



Kerasnya hatimu

aku tak mampu

aku tak mau

memikirkannya



betapa diriku

terus mencoba

tapi merasa

ku tak berdaya



sepanjang waktumu

tak kau biarkan

tak kau lepaskan

keinginanmu



mencoba bertahan

dari hatiku

keinginanku

memilkinya



kepada hati itu aku terlena

dimanakah berada aku terbawa

kepada hati itu ku terus mencoba

dimanakah berada engkau milikNya



harumnya nafasmu sangat sejuk

sarat fantasi dingin jiwamu

begitu terasa tampak dahaga

kasih dan cinta yang engkau punya



kepada hati itu aku terlena

dimanakah berada aku terbawa

kepada hati itu ku terus mencoba

dimanakah berada engkau milik-Nya



Kalau saja Noe tidak membuka rahasia itu, kita berpikiran dan menafsirkan bahwa lagu ini lagu cinta biasa, ungkapan seseorang terhadap kekasihnya, yang hatinya belum menerima cintanya.

Sebagaimana lagu “Sandaran Hati” dalam album pertama Letto. Sandaran hatinya adalah antara manusia yang dimabuk asmara dengan kekasihnya (dengan ‘nya’ kecil). Enam bulan berikutnya orang baru ‘ngeh’ bahwa lagu ini semacam doa sang hamba dengan Sang Kekasih (Tuhan). Segala permasalahan kehidupan bersandar kepada Tuhan.

Dalam album kedua, Sebelum Cahaya, orang juga dibebaskan menafsirkan, apa kandungan terdalam syair lagu tersebut. Sampai akhirnya ada yang menyebut bahwa ini adalah cerita tentang ketekunan seorang hamba yang menjalankan shalat malam. Sekali lagi orang bebas menafsirkan.




Emha Ainun Nadjib, ayahnya Noe, puluhan tahun lalu telah menulis puisi “Jalan Sunyi.” Ada kalimat yang hampir mirip pada lagu Sebelum Cahaya, yaitu “perjalanan sunyi.” Maka tidak heran ada yang mengutak-atik-gatuk bahwa lagu ini diperuntukkan ayahndanya tercinta.

Karena perjalanan Emha adalah perjalanan sunyi, sangat jarang orang yang mau menempuhnya. Perjalanan sendiri. Dengan setia, meski tidak jarang difitnah, dicekal, Emha tetap berjalan. Terus berjalan. Hal ini disadari betul oleh Emha sejak muda. Maka ketika anak pertamnya lahir dinamai: Sabrang Mowo Damar Panuluh. Berjalan di atas bara api dengan membawa obor sebagai penerang jalan kemanusiaan. Itu yang dilakukan Emha sampai sekarang, dan sang anak berjanji akan setia menemani.[]

Benua Atlantis

Benua Atlantis itu (Ternyata) Indonesia

Oleh Prof. Dr. H. PRIYATNA ABDURRASYID, Ph.D.

MUSIBAH alam beruntun dialami Indonesia. Mulai dari tsunami di Aceh hingga yang mutakhir semburan lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa serupa di wilayah yang dikenal sebagai Benua Atlantis. Apakah ada hubungan antara Indonesia dan Atlantis?

Plato (427 - 347 SM) menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang hilang atau Atlantis.

Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato's Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.

Konteks Indonesia

Bukan kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.

Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene). Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.

Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh.

Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.

Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.

Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, "Amicus Plato, sed magis amica veritas." Artinya,"Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran."

Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.

Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau.

Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya.***

Penulis, Direktur Kehormatan International Institute of Space Law (IISL), Paris-Prancis